Yuk, pilah sampah sejak dari dini!

Pada 2 tahun yang lalu, setelah libur lebaran berakhir, mulai ada perbedaan yang mencolok dari lingkungan tempat saya tinggal. Sampah mulai terlihat menumpuk di depan rumah. Hari demi hari kantong sampah makin menggunung dan tidak ada petugas sampah yang mengambilnya sama sekali. Padahal sampah rutin diambil 2 kali seminggu oleh truk sampah yang dikelola dinas kebersihan Pemkab. Bandung. Kebetulan domisili saya masuk ke dalam wilayah Pemkab. Bandung. 
Pemandangan yang tidak menyenangkan pun terjadi juga. Sampah yang menggunung menarik binatang seperti kucing untuk mengacak – acaknya. Kantong sampah yang telah tertumpuk rapi pun jadi berserakan kemana – mana dan isinya pun jadi keluar karena ulah kucing. Akibatnya mengundang datangnya lalat – lalat. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh warga. Hanya bisa mencari kejelasan ke aparatur setempat, mulai dari melaporkan ke tingkat RT lalu mencari tahu ke RW bahkan mencari kepastian sampai ke tingkat Desa.
Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui RW, ternyata memang ada pengurangan armada truk pengangkut sampah, bahkan sampai nyaris 50% dari total keseluruhan armada. Hal ini dikarenakan akan adanya penutupan TPAS (Tempat Pengelolaan Akhir Sampah) milik Pemkab. Bandung yang berlokasi di Desa Babakan, Kecamatan Ciparay. Akibatnya, truk pengangkut sampah hanya bisa keliling mengambil sampah seminggu sekali bahkan terkadang hanya bisa dua minggu sekali. Oleh karenanya, warga pun mendapatkan surat edaran yang berisi himbauan untuk mulai melakukan penggolongan sampah. Padahal sebelumnya aktivitas warga hanya terbiasa melalukan pengumpulan sampah saja, tidak sampai melakukan penggolongan sampah. Tentunya ini menjadi pekerjaan besar bagi warga.
Setelah sampah diletakkan diluar, rasanya tugasnya sudah selesai. Tinggal tunggu sampah diangkut oleh truk dari dinas kebersihan saja. Apa yang dilakukan oleh dinas kebersihan pada sampah yang sudah diangkut itu seolah – olah sudah tidak perlu untuk ikut – ikutan dipikirkan. Selama sudah rutin membayar iuran untuk sampah, maka masalah sampah seolah – olah sudah beres dalam sekejap. Padahal kenyataannya tidak seperti itu, masih ada proses panjang yang melibatkan banyak pihak, lahan yang luas, bahkan sains dan teknologi serta biaya yang besar. Sampah dari rumah tangga yang sudah diangkut akan dibawa terlebih dahulu ke tempat penampungan sampah sementara, baru kemudian diangkut menuju tempat pembuangan akhir. Di tempat pembuangan akhir ini, ada beberapa alternatif cara yang dilakukan untuk mengolah sampah, diantaranya melalui sistem pembakaran sampah, metode pengkomposan, recycling, dsb. Sistem pengelolaan sampah seperti itu dikenal sebagai sistem sentralisasi.
Cara berpikir masyarakat masih banyak yang menilai bahwa memilah sampah itu merupakan kegiatan yang menghabiskan waktu, tenaga, dan uang. Dan tanpa disadari, sistem pengelolaan sentralisasi memiliki andil juga dalam membentuk pola pikir itu. Kurangnya kesadaran masyarakat akan pengelolaan sampah yang baik dapat membawa dampak yang jauh lebih besar di kemudian hari. Akibat adanya pekerjaan besar ini, akhirnya timbul kesadaran untuk mencoba memahami akar dari permasalahan yang ternyata berkaitan erat dengan kesadaran manusia sebagai makhluk yang bisa berpikir untuk bisa menghasilkan solusi.
Ada baiknya sebagai bagian dari solusi, dalam hal sistem dan budaya pengelolaan sampah yang baik, Indonesia bisa belajar dari Jepang. Kesadaran masyarakatnya yang tinggi tentang konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) itulah yang mendasari budaya memilah sampah berdasarkan jenisnya. Kemudian budaya tersebut disupport oleh regulasi pemerintah yang baik misalnya dengan mengedukasi masyarakatnya secara massif dan agresif sedini mungkin melalui pengajaran dan pelatihan cara memilah sampah sesuai jenisnya. Selain itu tempat sampah yang disediakan pun telah dipisahkan sehingga sangat memudahkan masyarakat untuk memilah sampah sejak awal. Dan petugas pengolahan sampah pun dengan disiplin menjalankan tugasnya untuk mengambil sampah – sampah jenis tertentu sesuai dengan jadwalnya. Alhasil, kebiasaan memilah sampah ini bisa mengakar sangat kuat di masyarakatnya.
Di Indonesia sendiri mungkin sudah banyak regulasi pemerintah yang mensupport konsep 3R, dengan harapan supaya bisa seperti Jepang yang sukses mengakarkan dengan kuat kebiasan baik dalam pengolahan sampah di masyarakatnya. Namun sayang, regulasi pemerintah yang baik pun akan menjadi lemah apabila pada praktiknya tidak ada support yang optimal. Kurangnya sarana dan prasarana mulai dari tempat sampah yang tidak disediakan sesuai dengan konsep memilah sampah, lalu tidak adanya jadwal pengambilan sampah sesuai jenisnya, bahkan teknologi pengolahan sampah yang digunakan di TPAS (Tempat Pembuangan Akhis Sampah) pun terkadang masih ada pro dan kontranya.

Salah satu kunci sukses mengakarkan budaya memilah sampah di Jepang adalah melalui edukasi yang dilakukan sedini mungkin. Anak – anak usia sekolah dasar (Shougakkou) di Jepang sudah dilatih cara membuang sampah sesuai jenisnya. Kebiasaan baik yang ditanamkan sejak dini diharapkan bisa membangun budaya yang baik juga. Bahkan bila merujuk pada teori pendidikan anak usia dini, Montessori, anak dengan rentang usia 0 bln – 5 tahun, apabila sense of order sudah mulai terlihat, maka anak pun sudah bisa diajarkan akan pemahaman tentang suatu perintah sederhana. Dalam hal ini, bisa dicontohkan cara membuang sampah. Mungkin di awalnya hanya diajarkan konsep bahwa sampah ya dibuangnya di tempat khusus sampah, bukan disembarang tempat. Ketika pada fase pemahaman dasar tersebut anak sudah terlatih dengan baik, selanjutnya bisa mulai mengenalkan bahwa ada sampah – sampah khusus yang dibuang di tempat sampah khusus.

Menurut Montessori, melalui media pembelajaran yang tepat, anak bisa dilatih sejak dini untuk membuang sampah sesuai jenisnya. Anak pada fase usia dini lebih kuat kemampuan visual dan motoriknya. Jadi media pembelajarannya haruslah menarik secara visual serta sekaligus bisa mengajak anak mengeksplorasi motoriknya. Apakah mungkin dengan mulai diperlihatkan tempat sampah yang telah didesain khusus sesuai karakteristik anak. Ataukah melalui media cerita, baik berupa media elektronik dan cetak, yang juga didesain menarik disertai tokoh kartun yang lucu sehingga anak – anak pun semakin giat menerapkan budaya memilah sampah. Bahkan bisa juga mengajak anak usia dini tersebut untuk terjun langsung mempercantik tempat sampah dengan bermain cat dan warna.

Catatan : Diambil dari berbagai sumber

Komentar

  1. Wah iya mbak betul. Sebenarnya pengurangan armada pengangkut sampah jd tantangan tersendiri utk bisa kreatif ya mbak. Kata dosen saya, di jepang pengangkutan sampah cuma 1x atau 2x seminggu gitu. Dan ga boleh ditaruh diluar kalo blm hari pengangkutannya. Shg mau gamau masyarakat harus kreatif dalam mengatasi 😁

    BalasHapus
  2. Wah iya mbak betul. Sebenarnya pengurangan armada pengangkut sampah jd tantangan tersendiri utk bisa kreatif ya mbak. Kata dosen saya, di jepang pengangkutan sampah cuma 1x atau 2x seminggu gitu. Dan ga boleh ditaruh diluar kalo blm hari pengangkutannya. Shg mau gamau masyarakat harus kreatif dalam mengatasi 😁

    BalasHapus
  3. budaya memilah sampah memang belum melekat kuat ya, mba. Tapi kalau ga dimulai sejak sekarang, mau kapan lagi. Karena sampah tetap menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam keseharian kita. Kalau di rumah sudah dipilah sampahnya, begitu petugas sampah datang, ternyata pemilahan kita malah disatukan. Mau ga mau dari kita sendiri yang harus mencari jalan keluarnya. #curhaaat. hahahay. terima kasih ulasannya mbaa

    BalasHapus

Posting Komentar